Uang Receh Riwayatmu Kini…..
Beberapa waktu yang lalu saya
menemukan satu kejadian yang
menarik di sebuah loket bus Trans
Jakarta (busway).
Seorang petugas
loket nampak marah-marah pada
seorang penumpang karena
membayar karcis dengan uang koin
(recehan). Dengan sewot ia
mengembalikan koin-koin tersebut
sambil berteriak, "Mas yang benar
saja, masa membeli karcis dengan
uang recehan seperti ini, masa saya
harus menghitung satu persatu koin-
koin tersebut. Memang saya tidak
ada kerjaan yang lain?"
Saya tertawa dalam hati.
Si Mbak ini
rupanya kurang mengerti kalau
salah satu pekerjaannya adalah
menghitung uang yang diserahkan
oleh calon penumpang untuk
ditukarkan dengan karcis.
Kemudian si Mas calon penumpang busway tersebut
mencoba menjawabnya dengan
sabar. "Mbak, hitung saja uang itu,
kurang tidak untuk dua lembar
karcis yang saya butuhkan. Koin itu
uang sah yang dibuat pemerintah
Republik Indonesia sebagai alat
pembayaran. Memangnya saya
salah kalau membayar
menggunakan koin-koin
tersebut?"Kalau kurang jumlahnya
tinggal bilang, nanti saya tambah."
demikian lanjutnya. Saya bisa
laporkan mbak ke Polisi karena
sudah melecehkan uang tersebut
yang nyata-nyata adalah uang asli
yang sah yang dikeluarkan oleh
pemerintah kita. Atau saya harus
membayarnya dengan uang pecahan
lima puluh ribuan atau seratus
ribuian tapi palsu?
Sambil bersungut-sungut si mbak petugas
loket menghitung uang tersebut.
"Dasar kampungan…" imbuhnya.
Padalah kalau dilihat dari
penampilannya laki-laki calon
penumpang busway tersebut jauh
dari kesan kampungan bahkan
cukup metropolis dan modis.
Lain waktu lagi seorang kasir di
sebuah supermarket merayu
pelanggannya untuk beramal dengan
menggenapkan total belanjaan yang
seharusnya kembali 250 rupiah
untuk diserahkan ke suatu badan
amal dengan alasan tidak
mempunyai uang receh sebagai
kembalian. Sang pelangganpun
dengan senang hati merelakannya
toh hanya recehan yang tidak
seberapa.
Tapi di tempat yang lain
di sebuah toko yang cukup besar
seorang pembeli marah-marah
karena kembaliannya yang 500
perak ditukar dengan sebuah
permen. "Memang permen
ini sekarang menjadi alat
pembayaran? kalau besok saya
belanja senilai 2000 ribu rupiah
mbak mau terima dibayar dengan 4
buah permen?" penjaga toko
menjawab dengan acuh tak acuh,
"memang sedang tidak uang receh,
giman dong? kalau ga mau ga jadi
belanja juga ga apa-apa.
Saya hanya tersenyum melihatnya.
Ada pula sebuah kejadian yang
lebih lucu, seorang pengamen di
sebuah bus kota melemparkan koin
500 perak yang diberikan seorang
penumpang, "Yang benar saja dong
bu…memangnya saya pengemis
dikasih logaman 500 perak,
pengemispun sekarang ga doyan
uang segitu.."
Saya menjadi bingung dengan
beberapa kejadian tersebut di atas.
Mengapa mereka tidak lagi
menghargai uang logam yang
mereka sebut sebagai recehan
recehan? saya sendiri sering
menyimpan koin-koin recehan
dalam kantong celana yang
terkadang menimbulakan bunyi
gemerincing saat saya berjalan dan
mengundang celotehan teman-
teman yang mendengar.
Koin-koin recehan yang malang.
Nasibmu memang malang. Uang kecil
seperti dirimu bahkan ditolak oleh
orang kecil.
Beberapa waktu yang lalu saya
menemukan satu kejadian yang
menarik di sebuah loket bus Trans
Jakarta (busway).
Seorang petugas
loket nampak marah-marah pada
seorang penumpang karena
membayar karcis dengan uang koin
(recehan). Dengan sewot ia
mengembalikan koin-koin tersebut
sambil berteriak, "Mas yang benar
saja, masa membeli karcis dengan
uang recehan seperti ini, masa saya
harus menghitung satu persatu koin-
koin tersebut. Memang saya tidak
ada kerjaan yang lain?"
Saya tertawa dalam hati.
Si Mbak ini
rupanya kurang mengerti kalau
salah satu pekerjaannya adalah
menghitung uang yang diserahkan
oleh calon penumpang untuk
ditukarkan dengan karcis.
Kemudian si Mas calon penumpang busway tersebut
mencoba menjawabnya dengan
sabar. "Mbak, hitung saja uang itu,
kurang tidak untuk dua lembar
karcis yang saya butuhkan. Koin itu
uang sah yang dibuat pemerintah
Republik Indonesia sebagai alat
pembayaran. Memangnya saya
salah kalau membayar
menggunakan koin-koin
tersebut?"Kalau kurang jumlahnya
tinggal bilang, nanti saya tambah."
demikian lanjutnya. Saya bisa
laporkan mbak ke Polisi karena
sudah melecehkan uang tersebut
yang nyata-nyata adalah uang asli
yang sah yang dikeluarkan oleh
pemerintah kita. Atau saya harus
membayarnya dengan uang pecahan
lima puluh ribuan atau seratus
ribuian tapi palsu?
Sambil bersungut-sungut si mbak petugas
loket menghitung uang tersebut.
"Dasar kampungan…" imbuhnya.
Padalah kalau dilihat dari
penampilannya laki-laki calon
penumpang busway tersebut jauh
dari kesan kampungan bahkan
cukup metropolis dan modis.
Lain waktu lagi seorang kasir di
sebuah supermarket merayu
pelanggannya untuk beramal dengan
menggenapkan total belanjaan yang
seharusnya kembali 250 rupiah
untuk diserahkan ke suatu badan
amal dengan alasan tidak
mempunyai uang receh sebagai
kembalian. Sang pelangganpun
dengan senang hati merelakannya
toh hanya recehan yang tidak
seberapa.
Tapi di tempat yang lain
di sebuah toko yang cukup besar
seorang pembeli marah-marah
karena kembaliannya yang 500
perak ditukar dengan sebuah
permen. "Memang permen
ini sekarang menjadi alat
pembayaran? kalau besok saya
belanja senilai 2000 ribu rupiah
mbak mau terima dibayar dengan 4
buah permen?" penjaga toko
menjawab dengan acuh tak acuh,
"memang sedang tidak uang receh,
giman dong? kalau ga mau ga jadi
belanja juga ga apa-apa.
Saya hanya tersenyum melihatnya.
Ada pula sebuah kejadian yang
lebih lucu, seorang pengamen di
sebuah bus kota melemparkan koin
500 perak yang diberikan seorang
penumpang, "Yang benar saja dong
bu…memangnya saya pengemis
dikasih logaman 500 perak,
pengemispun sekarang ga doyan
uang segitu.."
Saya menjadi bingung dengan
beberapa kejadian tersebut di atas.
Mengapa mereka tidak lagi
menghargai uang logam yang
mereka sebut sebagai recehan
recehan? saya sendiri sering
menyimpan koin-koin recehan
dalam kantong celana yang
terkadang menimbulakan bunyi
gemerincing saat saya berjalan dan
mengundang celotehan teman-
teman yang mendengar.
Koin-koin recehan yang malang.
Nasibmu memang malang. Uang kecil
seperti dirimu bahkan ditolak oleh
orang kecil.
0 komentar:
Post a Comment